Oleh : Pande
Kadek Juliana
Latar
Belakang
Bahasa
Bali merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan
terpakai dalam konteks komunikasi lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai
sekarang. Bahasa Bali
sekarang dikenal dengan sebutan Bahasa Bali Kepara (Baru/modern). Istilah
kepara dalam bahasa Bali artinya ketah, lumrah, biasa yang dalam bahasa
Indonesia bermakna ‘umum’. Bahasa Bali Kepara mengenal dua jenis ejaan yaitu
ejaan dengan huruf Bali dan huruf latin.
Bahasa
Bali Kepara juga disebut dengan bahasa Bali Modern. Penamaan bahasa Bali modern ini karena bahasa Bali Kepara
itu tetap berkembang pada zaman modern seperti sekarang ini. Kehidupan
dan perkembangan bahasa Bali Modern yang juga merupakan sarana dan wahana
kehidupan kebudayaan, agama, dan adat istiadat masyarakat etnis Bali yang
berkelanjutan sampai sekarang.
Bahasa Bali Modern juga mengenal sistem anggah-ungguhing basa atau sor-singgih (terutama bahasa Bali
dataran) karena dapat pengaruh dari Jawa. Pada zaman kerajaan, raja-raja Bali
sering ke Jawa, hubungan Jawa-Bali sangat rapat sehingga kebudayaan Jawa
(Hindu) sangat besar pengaruhnya terhadap kebudayaan Bali (Hindu). Pada zaman
kerajaan, sistem pemakaian sor-singgih bahasa Bali sangatlah tertib dilaksanakan pada
pelapisan masyarakat Bali, kelompok Tri
Wangsa berkomunikasi kepada kelomok bawah (sudra) diperkenankan memakai bahasa Bali ragam rendah. Sebaliknya,
kelompok sudra berkomunikasi kepada
kelompok Tri Wangsa menggunakan
bahasa Bali ragam tinggi (halus).
Pada zaman penjajahan terutama yang kelihatan pengaruhnya
terhadap perkembangan bahasa Bali yaitu pada masa penjajahan Belanda. banyak
sekolah didirikan sebagai sarana pendidikan formal. Belanda dapat menaklukkan
kerajaan-kerajaan di Bali sejak tahun 1846 M hingga tahun 1942. Pada awal Abad
ke-19, sebelum penjajahan Jepang, sekolah-sekolah mulai bermunculan yang
didirikan oleh pemerintahan VOC, bertujuan agar rakyat dapat menulis, membaca,
dan berhitung. mulai saat itulah bahasa Bali Kepara selain dikembangkan di luar pendidikan formal dalam pendidikan
formal pun tetap dikembangkan melalui proses belajar-mengajar. Namun,
sebaliknya pada zaman penjajahan Jepang mulai tahun 1942, sejarah bahasa Bali
Kepara mengalami masa suram karena di samping tidak ada pelajaran bahasa Bali
di sekolah juga banyaknya buku yang berbahasa Bali (modern) yang dibakar.
Kejatuhan Jepang ditangan Sekutu dimanfaatkan oleh bangsa
Indonesia untuk memerdekakan diri. Sementara Sekutu ingin menjajah lagi
sehingga terjadilah revolusi fisik. Revolusi tersebut juga terjadi di Bali yang
menyebabkan banyak tenaga guru di Bali masuk ke hutan bergerilya. Keadaan
tersebut membuat pembinaan bahasa Bali semakin tidak diperhatikan. Hal itu
berlangsung sampai tahun 1950-an. Baru pada tahun 1968 bahasa Bali dimasukkan
dalam kurikulum dan terus dibina. Pendidikan semakin maju, selain pengusahaan
bahasa Bali sebagai bahasa ibu sebagian besar masyarakat Bali, juga bahasa
Indonesia semakin mantap sehingga menyebabkan terbentuknya tatanan masyarakat
yang berdwibahasa.
Diberlakukannya bahasa Bali sebagai salah satu bahasa dalam
pendidikan formal yang digunakan dalam proses belajar-mengajar tentunya
menuntut kesempurnaan struktur bahasa Bali itu sendiri. Sehingga para
tokoh-tokoh intelektual Bali mulai memikirkan pelaksanaan pengajaran bahasa
Bali. Mulailah diadakan lokakarya-lokakarya yang membahas pengusahaan bahasa
Bali dalam dunia pendidikan formal. Dari hasil loka karya tersebut munculah
ejaan bahasa Bali dengan hurup Bali dan hurup latin, seperti yang kita terima
sekarang ini. Tentunya dari awal sampai sekarang ejaan ini telah beberapa kali mengalami
perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi bahasa Bali.
Berdasarkan uraian di atas, bisa kita katakan bahasa Bali
sepanjang perjalanannya mengalami perkembangan dan pengembangan. Perkembangan, maksudnya perluasan atau
pertumbuhan secara alami tanpa perencanaan. Pengembangan, maksudnya pertumbuhan bahasa Bali dengan cara sengaja
berdasarkan perencanaan. Bahasa Bali yang digunakan sekarang ini merupakan
hasil pembaharuan atas perkembangan dan pengembangan sejak dulu.
MUNCULNYA BAHASA BALI TULIS
(AKSARA BALI DAN HURUP BALI
LATIN)
Berdasarkan peninggalan yang telah diketahui, tulisan tertua
yang ditemukan di pulau Bali berasal dari abad VIII, yaitu berupa tulisan
Pranagari yang digunakan untuk menulis Ye-te mantra agama Budha. Mantra-mantra itu menggunakan bahasa Sansekerta dan
dicapkan pada tablet-tablet tanah liat (Goris, 1954: 108-109). Karena dewasa
ini belum ditemukan tulisan dalam bahasa Bali yang tertulis dengan aksara
tersebut, maka untuk sementara dapat dikatakan bahwa penggunaan aksara
Pranagari , tidaklah pantas dipandang sebagai tonggak sejarah munculnya bahasa Bali
tulis.
Walaupun sukar dinyatakan kapan saat munculnya bahasa
Bali tulis yang pertama, yang tidak dapat diingkari adalah bahwa orang telah
dapat melihat peninggalan bahasa Bali tertua yang berasal dari tahun 804 saka atau
882 M. Peninggalan itu berupa prasasti tembaga yang ditemukan dan sampai kini
masih disimpan di desa Sukawana, Kecamatan Kintamani Bangli. Prasasti itu
tertulis dengan Aksara Bali Kuna (Goris, 1954:6). Berdasarkan pengamatan
terhadap bentuknya, aksara Bali Kuna tersebut merupakan perkembangan bentuk
aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Perkembangan yang dimaksud
bukanlah murni dari aksara Pallawa tetapi juga dipengaruhi aksara lain yang
berkembang saat itu yaitu aksara Dewanegari.
Perkembangan Aksara Bali
Masyarakat
Bali sebagaimana halnya suku bangsa lainnya di Indonesia, mengenal pula aksara
tersendiri yang disebut “Aksara Bali”.
Aksara Bali ini yang lebih dikenal dengan sebutan abjad Anacaraka, berasal
dari hurup Pallawa (Ginarsa, 1980: 5). Disebutkan pula bahwa di Bali terdapat
sumber yang menyatakan bahwa huruf (aksara) yang paling kuna di Bali terdapat
di Pura Penataran Sasih, Pejeng Gianyar.
Huruf yang sama ditemukan juga di Candi Kalasan yang
bertahun saka 700 (778M). Huruf yang semacam ditemui juga di Pura Blanjong,
Sanur Badung yang bertahun saka 835 (914 M), yang ditulis dalam Bahasa
Sansekerta dan bahasa Bali Kuno.
Seperti dikatakan di atas, bahwa bahasa Bali berasal dari
huruf/aksara pallawa yang telah mengalami perubahan. Sumber data di atas
ditemukan di Pura Kehen Bangli, Pura Bale Agung Sembiran Singaraja dan di Serokadan.
Penyebutan pada kedua tempat terakhir, disimpulkan sebagai pallawa muda. Dari
Pallawa muda yang telah mengalami perubahan yaitu menjadi huruf persegi empat
pra-Kediri, Kediri-kwadrat, sehingga menjadi huruf Bali yang sekarang.
Pemakaiannya dapat dijumpai di Gunung Penulisan. Bentuk-bentuk huruf di atas
mendapat pengaruh dari Kediri yaitu pada zaman kerajaan Airlangga.
Dari berbagai perubahan tersebut, muncul tulisan Modre,
yaitu lima huruf sakti, yang berbunyi: da, dya , ra, hma dan se. Tulisan ini
terdapat disebuah patung raksasa di Pegulingan. Kemudian di pemerintahan raja
Astesura (338 M) ditemukan huruf Bali yang agak bundar, yang sama dengan hurup
Majapahit. Tulisan tersebut dapat ditemui dalam patung raja Astesura yang
tersimpan di Tegeh Koripan, di gunung Penulisan. Dari bentuk terakhir inilah
akhirnya dikenal huruf Bali yang dipakai sampai sekarang (Ginarsa, 1980:9).
Sebelum dikenal kertas, semua huruf Bali ditulis di daun
Lontar, alat tulisnya populer disebut pengerupak. Dengan daya tahan yang
dimiliki oleh daun lontar tersebut, sampai berabad-abad masih saja utuh,
sehingga sampai sekarang cukup banyak lontar yang bertuliskan huruf Bali masih
bisa dijumpai.
Fungsi aksara Bali secara umum adalah untuk menuliskan berbagai
masalah keagamaan, adat-istiadat, sastra, dan sebagainya. Berdasarkan bentuk
dan fungsinya, aksara Bali terbagi menjadi dua jenis, yaitu aksara biasa dan
aksara suci. Yang termasuk aksara biasa adalah Wreastra dan Swalalita, yang
terdiri dari 18 huruf (a, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa,
ja, ya, nya). Aksara Swalalita digunakan dalam kesusastraan Kawi seperti
menulis Kakawin, parwa, dan sebagainya. Jenis kedua adalah aksara Suci, yang
dimaksud adalah aksara Wijaksara dan Modre, yaitu aksara yang mati, aksara yang
tidak dapat dibaca, karena memperoleh berbagai pengangge. Petunjuk untuk
membaca aksara Modre dinamakan Krakah.
Dalam aksara Bali dikenal bermacam-macam pengangge aksara
(perlengkapan huruf) yang hampir sama dengan bunyi vokal dalam huruf latin. Disamping
pengangge aksara, dalam aksara Bali dikenal juga gantungan dan
gempelan. Gantungan letaknya di bawah aksara, sedangkan gempelan terletak di
samping kanan aksara.
Seperti dikatakan di atas, bahwa aksara bermula dan
berkembang setelah huruf Pallawa. Dalam perkembangan selanjutnya perlu pula
diketahui tentang berlakunya ejaan dengan huruf Bali yang terkenal dengan ejaan
Scwarts. Namun dengan berkuasanya Jepang di Indonesia (termasuk Bali) maka
ejaan Scwarts tidak berlaku lagi. Setelah diadakan pesamuan Agung bahasa Bali
pada tanggal 23-26 Oktober 1957 dan dilanjutkan Pesamuan Agung Kecil pada
tanggal 28-30 Desember 1963, maka dikenalah ejaan aksara Bali yang sekarang
yang disebut ejaan Purwadresta. Seperti dijelaskan dalam petikan berikut :
"Pidabdab mangda basa, aksara, lan sastra Baline sida tumbuh werdi sampun makeh pisan kamargiang. Ngawit saking warsa 1957 sampun kawentenang Pasamuhan Agung Basa Bali kapertama, raris kalanturang antuk Pasamuhan Agung Kecil warsa 1963, warsa 1973 kamargiang Pasamuhan Agung Basa Bali II, Kalanturang malih antuk Pasamuan Agung Basa Bali III duk warsa 1991.Warsa 1996 kawentenang Pasamuhan Agung Basa Bali IV sane kawastanin taler Kongres Bahasa Bali IV tur sane pinih untat duk warsa 2006 kawentenang Kongres Bahasa Bali V.
Silih tunggil keputusan sane sampun kacumpuin sajeroning pasamuhan-pasamuhan inucap ngeninin indik uger-uger pasang aksara Bali sane mangge sajeroning nyurat aksara Bali. Rauh mangkin sampun wenten pedoman sane pastika pisan ngeninin pasang aksara Bali sane kanggen uger-uger nyurat aksara Bali sane kamedalang olih Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Uger-uger nyurat aksara Bali saking riin sampun wenten ngawitin antuk pasang aksara Purwadresta. Salanturnyane kamanggehang pasang aksara manut H.J.E.F. Schwartz (Oeger-oeger Aksara saha Pasang Sasoeratan Basa Bali, 1931) Sasampune kawentenang Pasamuhan Agung Basa Bali 1957 uger-uger nyurat aksara Bali mawali malih ngamanggehang pasang aksara Purwadresta manut sasuratan sane wenten ring buku Ramayana pakaryan H. Kern miwah buku Bharatayudha pakaryan Gunning. Duk Warsa 1963 Kawentenang Pasamuhan Agung Alit sane maosang indik pasang aksara Bali manut keputusan Pasamuhan Agung Basa Bali tahun 1957. Mungguing pasang aksara Bali sane kamanggehang rauh mangkin kantun malarapan antuk asil Pasamuhan Agung Basa Bali 1957 miwah Pasamuhan Agung Alit 1963."
Perkembangan Hurup Bali Latin
Selain adanya hurup/aksara Bali, bahasa Bali juga memiliki huruf latin yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dalam usaha penyempurnaan ejaan suatu bahasa merupakan salah satu bagian dari penyempurnaan kaidah yang berlaku bagi bahasa itu. Usaha penyempurnaan ejaan bahasa Bali Latin telah sering dilaksanakan.
Selain adanya hurup/aksara Bali, bahasa Bali juga memiliki huruf latin yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dalam usaha penyempurnaan ejaan suatu bahasa merupakan salah satu bagian dari penyempurnaan kaidah yang berlaku bagi bahasa itu. Usaha penyempurnaan ejaan bahasa Bali Latin telah sering dilaksanakan.
Tanggal
27 Juli 1915, di Singaraja diadakan rapat guru-guru seluruh Bali, membicarakan
ejaan bahasa Bali Latin. Berdasarkan hasil rapat tersebut, disusunlah buku yang
berjudul Uger-Uger Nyurat Basa Bali Antuk
Sastra Latin oleh I Made Kaler dan I Made Pasek..
Tanggal
24 Februari 1931, terbit buku Uger-Uger
Aksara Saha Pasang Sesuratan Basa Bali Kepara oleh H.J.E.F. Schwartz yang pada bagian akhir
buku tersebut membicarakan bahasa Bali Latin, dalam judul “Pasang Aksara Sesuratan Basa
Bali Yan Ngangge Aksara Latin”.
Adanya
perubahan ejaan dalam bahasa Indonesia dari ejaan Van Ophuysen menjadi ejaan
Suwandi tahun 1947 mempengaruhi ejaan penulisan bahasa Bali dengan huruf latin.
Dalam usaha penyesuaian ini, maka pada tanggal 23-28 Oktober 1957 diadakan
Pesamuan Agung Bahasa Bali yang membicarakan ejaan bahasa Bali Latin dan ejaan
bahasa Bali dengan huruf Bali. Ada beberapa keputusan penting dalam pesamuan
tersebut yang menyangkut ejaan bahasa Bali Latin, sebagai berikut;
1. Ejaan
bahasa Bali dengan hurup latin harus disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia,
yaitu ejaan Suwandi.
2.
Ejaan bahasa Bali dengan hurup latin hendaknya fonetis (sesuai dengan apa
yang diucapkan).
3.
Penulisan bahasa Bali dengan huruf Latin digunakan 6 vokal yaitu: a, i, u, é,
o, e. Konsonannya ada 18 buah yaitu: h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, m, g, b, ng,
p, j, y, ny.
Berdasarkan hasil keputusan tersebut ,maka I Gusti ketut
Ranuh bersama I Ketut Sukrata menyusun sebuah buku yang berjudul Ejaan Bahasa Bali dengan Hurup Latin dan
Hurup Bali.
Tanggal 28-30
Desember 1963 diadakan pesamuan agung kecil bahasa Bali. Adapun tujuannya
meninjau kembali hasil keputusan Pesamuan Agung tahun 1957, karena di dalam
keputusan tersebut masih ditemukan masalah-masalah yang menimbulkan kesulitan
dalam penerapannya, terutama dalam hal penerapan ejaan bahasa Bali dengan hurup
Bali. Berdasarkan hasil keputusan pesamuan agung kecil 1963, disusun buku:
1.
Pedoman Guru Pasang Sastra Bali Latin (Md Riken),
2.
Wiakarana Basa Aksara Bali (I Wyn Simpen AB),
3.
Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali
Dengan Hurup Latin dan Hurup Bali (I Nengah Tinggen, 1971).
Dalam Raker
Kurikulum Bahasa Bali, yang diadakan oleh dinas Pengajaran Propinsi Bali
tanggal 9 s.d. 12 Desember 1970 di Bedugul. Menegaskan bahwa ejaan Bahasa Bali
yang harus diajarkan adalah ejaan bahasa Bali dengan huruf Bali dan huruf Latin
sesuai dengan pesamuan agung tahun 1957 dan tahun 1963.
Penggunaan
ejaan bahasa Bali Latin kembali mengalami perubahan mengikuti ejaan bahasa
Indonesia. Berdasarkan keputuskan bapak Presiden Republik Indonesia tentang
berlakunya ejaan bahasa Indonesia Yang Disempurnakan mengganti ejaan Suwandi tanggal
17 Agustus 1972. Pada tanggal 12 s.d. 13 Januari 1973 diadakan Loka Karya
Bahasa Bali, tujuannya yaitu mengadakan
Penyesuaian Ejaan Bahasa Bali Latin ke dalam Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan.
Dalam usaha
pendekatan bahasa-bahasa daerah terutama bahasa daerah Jawa, Sunda dan Bali,
sehubungan dengan penyesuaian ejaan
bahasa daerah tersebut ke dalam Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan, maka pada tanggal 22-23 Maret 1973 diadakan loka karya ejaan
bahasa daerah tersebut. Sebagai wakil dari Bali yaitu Drs. Wayan Warna, Drs.
Wayan Jendra, dan I Nengah Tinggen. Hasilnya dikeluarkan keputusan dengan No.
070/U/1974, telah mengumumkan secara resmi Ejaan Bahasa Daerah Bali, Sunda, dan
Sumbawa yang di sempurnakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sehingga
berlakulah secara resmi Ejaan bahasa Bali dengan huruf latin sampai sekarang
ini.
Demikianlah
perjalanan ejaan latin bahasa Bali Yang Disempurnakan dan berlaku sampai
sekarang ini.
SIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1.
Aksara Bali bermula dan berkembang setelah hurup Pallawa. Dalam
perkembangan selanjutnya perlu pula diketahui tentang berlakunya ejaan dengan
huruf Bali yang terkenal dengan ejaan Scwarts. Namun dengan berkuasanya Jepang
di Indonesia (termasuk Bali) maka ejaan Scwarts tidak berlaku lagi. Setelah
diadakan pesamuan Agung bahasa Bali pada tanggal 23-26 Oktober 1957 dan
dilanjutkan Pesamuan Agung Kecil pada tanggal 28-30 Desember 1963, maka
dikenallah ejaan aksara Bali yang sekarang yang disebut ejaan Purwadresta.
2.
Dikeluarkannya keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan No.
070/U/1974, telah mengumumkan secara resmi Ejaan Bahasa Bali yang Disempurnakan
setelah mengalami proses yang begitu panjang dalam perjuangannya.
Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah di
Indonesia yang masih hidup dan berkembang pada masyarakat suku Bali di zaman
modern ini, yang sangat memerlukan perhatian dan pemeliharaan agar tidak punah
seperti bahasa-bahasa daerah lainnya. Sehingga perlu dilestarikan, karena bhasa
Bali adalah bahasa ibu masyarakat suku Bali. Mari kita sebagai masyarakat Bali
menjaga dan melestarikan bahasa Bali dengan menggunakan bahasa Bali sebagai
bahasa sehari-hari dalam pergaulan.
DAFTAR PUSTAKA
Bawa, I Wayan,dkk. 1985. “Studi Sejarah Bahasa Bal” Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I
Bali.
Geriya, I Wyn, dkk. 1993. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Daerah Bali Yang Disempurnakan. Denpasar:
Biro Bina Mental Spiritual setwilda Tingkat I Bali.
Hadi, Sutrisno. 1973. Metodelogi
Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas
Gajah Mada.
Jendra, I Wayan. 1981. Suatu Pengantar Ringkas Dasar-Dasar Penyusunan Rancangan Penelitian.
Denpasar
: Fakultas Sastra Unud.
Suasta, Ida Bagus Made. 1997. “Berpidato dengan Bahasa Bali”. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik,
Kedudukannya, Aneka Jenisnya, dan Faktor Penentu Wujudnya. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Sulaga, I Nyoman dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar : Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Tinggen, I Nengah. 1994. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: CV. Rhika Dewata.
Tinggen,I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali Dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja:
CV. Rhika Dewata.
Ilmu tak lekang oleh waktu... Terima Kasih bli..
ReplyDelete