Teks Berjalan

Om Swastyastu, Sameton Sutha Abimanyu, Nyama Blijul ajak makejang.. Rahajeng rauh ring blog puniki, elingang follow ig @blijul_pande twitter @jul_pande Youtube: Blijul TV _ Om santih, santih, santih.

Monday, April 23, 2012

PERKEMBANGAN EJAAN BAHASA BALI

Oleh : Pande Kadek Juliana
Latar Belakang
Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan terpakai dalam konteks komunikasi lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai sekarang. Bahasa Bali sekarang dikenal dengan sebutan Bahasa Bali Kepara (Baru/modern). Istilah kepara dalam bahasa Bali artinya ketah, lumrah, biasa yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘umum’. Bahasa Bali Kepara mengenal dua jenis ejaan yaitu ejaan dengan huruf Bali dan huruf latin.
Bahasa Bali Kepara juga disebut dengan bahasa Bali Modern. Penamaan bahasa Bali modern ini karena bahasa Bali Kepara itu tetap berkembang pada zaman modern seperti sekarang ini. Kehidupan dan perkembangan bahasa Bali Modern yang juga merupakan sarana dan wahana kehidupan kebudayaan, agama, dan adat istiadat masyarakat etnis Bali yang berkelanjutan sampai sekarang.
Bahasa Bali Modern juga mengenal sistem anggah-ungguhing basa atau sor-singgih (terutama bahasa Bali dataran) karena dapat pengaruh dari Jawa. Pada zaman kerajaan, raja-raja Bali sering ke Jawa, hubungan Jawa-Bali sangat rapat sehingga kebudayaan Jawa (Hindu) sangat besar pengaruhnya terhadap kebudayaan Bali (Hindu). Pada zaman kerajaan, sistem pemakaian sor-singgih  bahasa Bali sangatlah tertib dilaksanakan pada pelapisan masyarakat Bali, kelompok Tri Wangsa berkomunikasi kepada kelomok bawah (sudra) diperkenankan memakai bahasa Bali ragam rendah. Sebaliknya, kelompok sudra berkomunikasi kepada kelompok Tri Wangsa menggunakan bahasa Bali ragam tinggi (halus).

Pada zaman penjajahan terutama yang kelihatan pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa Bali yaitu pada masa penjajahan Belanda. banyak sekolah didirikan sebagai sarana pendidikan formal. Belanda dapat menaklukkan kerajaan-kerajaan di Bali sejak tahun 1846 M hingga tahun 1942. Pada awal Abad ke-19, sebelum penjajahan Jepang, sekolah-sekolah mulai bermunculan yang didirikan oleh pemerintahan VOC, bertujuan agar rakyat dapat menulis, membaca, dan berhitung. mulai saat itulah bahasa Bali Kepara selain dikembangkan di luar pendidikan formal dalam pendidikan formal pun tetap dikembangkan melalui proses belajar-mengajar. Namun, sebaliknya pada zaman penjajahan Jepang mulai tahun 1942, sejarah bahasa Bali Kepara mengalami masa suram karena di samping tidak ada pelajaran bahasa Bali di sekolah juga banyaknya buku yang berbahasa Bali (modern) yang dibakar.
Kejatuhan Jepang ditangan Sekutu dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri. Sementara Sekutu ingin menjajah lagi sehingga terjadilah revolusi fisik. Revolusi tersebut juga terjadi di Bali yang menyebabkan banyak tenaga guru di Bali masuk ke hutan bergerilya. Keadaan tersebut membuat pembinaan bahasa Bali semakin tidak diperhatikan. Hal itu berlangsung sampai tahun 1950-an. Baru pada tahun 1968 bahasa Bali dimasukkan dalam kurikulum dan terus dibina. Pendidikan semakin maju, selain pengusahaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu sebagian besar masyarakat Bali, juga bahasa Indonesia semakin mantap sehingga menyebabkan terbentuknya tatanan masyarakat yang berdwibahasa.
Diberlakukannya bahasa Bali sebagai salah satu bahasa dalam pendidikan formal yang digunakan dalam proses belajar-mengajar tentunya menuntut kesempurnaan struktur bahasa Bali itu sendiri. Sehingga para tokoh-tokoh intelektual Bali mulai memikirkan pelaksanaan pengajaran bahasa Bali. Mulailah diadakan lokakarya-lokakarya yang membahas pengusahaan bahasa Bali dalam dunia pendidikan formal. Dari hasil loka karya tersebut munculah ejaan bahasa Bali dengan hurup Bali dan hurup latin, seperti yang kita terima sekarang ini. Tentunya dari awal sampai sekarang  ejaan ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi bahasa Bali.
Berdasarkan uraian di atas, bisa kita katakan bahasa Bali sepanjang perjalanannya mengalami perkembangan dan pengembangan. Perkembangan, maksudnya perluasan atau pertumbuhan secara alami tanpa perencanaan. Pengembangan, maksudnya pertumbuhan bahasa Bali dengan cara sengaja berdasarkan perencanaan. Bahasa Bali yang digunakan sekarang ini merupakan hasil pembaharuan atas perkembangan dan pengembangan sejak dulu.

MUNCULNYA BAHASA BALI TULIS
(AKSARA BALI DAN HURUP BALI LATIN)
Berdasarkan peninggalan yang telah diketahui, tulisan tertua yang ditemukan di pulau Bali berasal dari abad VIII, yaitu berupa tulisan Pranagari yang digunakan untuk menulis Ye-te mantra agama Budha. Mantra-mantra itu menggunakan bahasa Sansekerta dan dicapkan pada tablet-tablet tanah liat (Goris, 1954: 108-109). Karena dewasa ini belum ditemukan tulisan dalam bahasa Bali yang tertulis dengan aksara tersebut, maka untuk sementara dapat dikatakan bahwa penggunaan aksara Pranagari , tidaklah pantas dipandang sebagai tonggak sejarah munculnya bahasa Bali tulis.
Walaupun sukar dinyatakan kapan saat munculnya bahasa Bali tulis yang pertama, yang tidak dapat diingkari adalah bahwa orang telah dapat melihat peninggalan bahasa Bali  tertua yang berasal dari tahun 804 saka atau 882 M. Peninggalan itu berupa prasasti tembaga yang ditemukan dan sampai kini masih disimpan di desa Sukawana, Kecamatan Kintamani Bangli. Prasasti itu tertulis dengan Aksara Bali Kuna (Goris, 1954:6). Berdasarkan pengamatan terhadap bentuknya, aksara Bali Kuna tersebut merupakan perkembangan bentuk aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Perkembangan yang dimaksud bukanlah murni dari aksara Pallawa tetapi juga dipengaruhi aksara lain yang berkembang saat itu yaitu aksara Dewanegari.

Perkembangan Aksara Bali
Masyarakat Bali sebagaimana halnya suku bangsa lainnya di Indonesia, mengenal pula aksara tersendiri yang disebut “Aksara Bali”. Aksara Bali ini yang lebih dikenal dengan sebutan abjad Anacaraka, berasal dari hurup Pallawa (Ginarsa, 1980: 5). Disebutkan pula bahwa di Bali terdapat sumber yang menyatakan bahwa huruf (aksara) yang paling kuna di Bali terdapat di Pura Penataran Sasih, Pejeng Gianyar.
Huruf yang sama ditemukan juga di Candi Kalasan yang bertahun saka 700 (778M). Huruf yang semacam ditemui juga di Pura Blanjong, Sanur Badung yang bertahun saka 835 (914 M), yang ditulis dalam Bahasa Sansekerta dan bahasa Bali Kuno.
Seperti dikatakan di atas, bahwa bahasa Bali berasal dari huruf/aksara pallawa yang telah mengalami perubahan. Sumber data di atas ditemukan di Pura Kehen Bangli, Pura Bale Agung Sembiran Singaraja dan di Serokadan. Penyebutan pada kedua tempat terakhir, disimpulkan sebagai pallawa muda. Dari Pallawa muda yang telah mengalami perubahan yaitu menjadi huruf persegi empat pra-Kediri, Kediri-kwadrat, sehingga menjadi huruf Bali yang sekarang. Pemakaiannya dapat dijumpai di Gunung Penulisan. Bentuk-bentuk huruf di atas mendapat pengaruh dari Kediri yaitu pada zaman kerajaan Airlangga.
Dari berbagai perubahan tersebut, muncul tulisan Modre, yaitu lima huruf sakti, yang berbunyi: da, dya , ra, hma dan se. Tulisan ini terdapat disebuah patung raksasa di Pegulingan. Kemudian di pemerintahan raja Astesura (338 M) ditemukan huruf Bali yang agak bundar, yang sama dengan hurup Majapahit. Tulisan tersebut dapat ditemui dalam patung raja Astesura yang tersimpan di Tegeh Koripan, di gunung Penulisan. Dari bentuk terakhir inilah akhirnya dikenal huruf Bali yang dipakai sampai sekarang (Ginarsa, 1980:9).
Sebelum dikenal kertas, semua huruf Bali ditulis di daun Lontar, alat tulisnya populer disebut pengerupak. Dengan daya tahan yang dimiliki oleh daun lontar tersebut, sampai berabad-abad masih saja utuh, sehingga sampai sekarang cukup banyak lontar yang bertuliskan huruf Bali masih bisa dijumpai.
Fungsi aksara Bali secara umum adalah untuk menuliskan berbagai masalah keagamaan, adat-istiadat, sastra, dan sebagainya. Berdasarkan bentuk dan fungsinya, aksara Bali terbagi menjadi dua jenis, yaitu aksara biasa dan aksara suci. Yang termasuk aksara biasa adalah Wreastra dan Swalalita, yang terdiri dari 18 huruf (a, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya). Aksara Swalalita digunakan dalam kesusastraan Kawi seperti menulis Kakawin, parwa, dan sebagainya. Jenis kedua adalah aksara Suci, yang dimaksud adalah aksara Wijaksara dan Modre, yaitu aksara yang mati, aksara yang tidak dapat dibaca, karena memperoleh berbagai pengangge. Petunjuk untuk membaca aksara Modre dinamakan Krakah.
Dalam aksara Bali dikenal bermacam-macam pengangge aksara (perlengkapan huruf) yang hampir sama dengan bunyi vokal dalam huruf latin. Disamping pengangge aksara, dalam aksara Bali dikenal juga gantungan dan gempelan. Gantungan letaknya di bawah aksara, sedangkan gempelan terletak di samping kanan aksara. 
Seperti dikatakan di atas, bahwa aksara bermula dan berkembang setelah huruf Pallawa. Dalam perkembangan selanjutnya perlu pula diketahui tentang berlakunya ejaan dengan huruf Bali yang terkenal dengan ejaan Scwarts. Namun dengan berkuasanya Jepang di Indonesia (termasuk Bali) maka ejaan Scwarts tidak berlaku lagi. Setelah diadakan pesamuan Agung bahasa Bali pada tanggal 23-26 Oktober 1957 dan dilanjutkan Pesamuan Agung Kecil pada tanggal 28-30 Desember 1963, maka dikenalah ejaan aksara Bali yang sekarang yang disebut ejaan Purwadresta. Seperti dijelaskan dalam petikan berikut :
"Pidabdab mangda basa, aksara, lan sastra Baline sida tumbuh werdi sampun makeh pisan kamargiang. Ngawit saking warsa 1957 sampun kawentenang Pasamuhan Agung Basa Bali kapertama, raris kalanturang antuk Pasamuhan Agung Kecil warsa 1963, warsa 1973 kamargiang Pasamuhan Agung Basa Bali II, Kalanturang malih antuk Pasamuan Agung Basa Bali III duk warsa 1991.Warsa 1996 kawentenang Pasamuhan Agung Basa Bali IV sane kawastanin taler Kongres Bahasa Bali IV tur sane pinih untat duk warsa 2006 kawentenang Kongres Bahasa Bali V.  
Silih tunggil keputusan sane sampun kacumpuin sajeroning pasamuhan-pasamuhan inucap ngeninin indik uger-uger pasang aksara Bali sane mangge sajeroning nyurat aksara Bali. Rauh mangkin sampun wenten pedoman sane pastika pisan ngeninin pasang aksara Bali sane kanggen uger-uger nyurat aksara Bali sane kamedalang olih Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.  Uger-uger nyurat aksara Bali  saking riin sampun wenten ngawitin antuk pasang aksara Purwadresta. Salanturnyane kamanggehang pasang aksara manut H.J.E.F. Schwartz (Oeger-oeger Aksara saha Pasang Sasoeratan Basa Bali, 1931) Sasampune kawentenang Pasamuhan Agung Basa Bali 1957 uger-uger nyurat aksara Bali mawali malih ngamanggehang pasang aksara Purwadresta manut sasuratan sane wenten ring buku Ramayana pakaryan H. Kern miwah buku Bharatayudha pakaryan Gunning. Duk Warsa 1963 Kawentenang Pasamuhan Agung Alit sane maosang indik pasang aksara Bali manut keputusan Pasamuhan Agung Basa Bali tahun 1957. Mungguing pasang aksara Bali sane kamanggehang rauh mangkin kantun malarapan antuk asil Pasamuhan Agung Basa Bali 1957 miwah Pasamuhan Agung Alit 1963."

Perkembangan Hurup Bali Latin
Selain adanya hurup/aksara Bali, bahasa Bali juga memiliki huruf latin yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dalam usaha penyempurnaan ejaan suatu bahasa merupakan salah satu bagian dari penyempurnaan kaidah yang berlaku bagi bahasa itu. Usaha penyempurnaan ejaan bahasa Bali Latin telah sering dilaksanakan.
Tanggal 27 Juli 1915, di Singaraja diadakan rapat guru-guru seluruh Bali, membicarakan ejaan bahasa Bali Latin. Berdasarkan hasil rapat tersebut, disusunlah buku yang berjudul Uger-Uger Nyurat Basa Bali Antuk Sastra Latin oleh I Made Kaler dan I Made Pasek..
Tanggal 24 Februari 1931, terbit buku Uger-Uger Aksara Saha Pasang Sesuratan Basa Bali Kepara  oleh H.J.E.F. Schwartz yang pada bagian akhir buku tersebut membicarakan bahasa Bali Latin, dalam judul “Pasang  Aksara Sesuratan Basa Bali Yan Ngangge Aksara Latin”.
Adanya perubahan ejaan dalam bahasa Indonesia dari ejaan Van Ophuysen menjadi ejaan Suwandi tahun 1947 mempengaruhi ejaan penulisan bahasa Bali dengan huruf latin. Dalam usaha penyesuaian ini, maka pada tanggal 23-28 Oktober 1957 diadakan Pesamuan Agung Bahasa Bali yang membicarakan ejaan bahasa Bali Latin dan ejaan bahasa Bali dengan huruf Bali. Ada beberapa keputusan penting dalam pesamuan tersebut yang menyangkut ejaan bahasa Bali Latin, sebagai berikut;
1.  Ejaan bahasa Bali dengan hurup latin harus disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia, yaitu ejaan Suwandi.
2.  Ejaan bahasa Bali dengan hurup latin hendaknya fonetis (sesuai dengan apa yang diucapkan).
3.  Penulisan bahasa Bali dengan huruf Latin digunakan 6 vokal yaitu: a, i, u, é, o, e. Konsonannya ada 18 buah yaitu: h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, m, g, b, ng, p, j, y, ny.
Berdasarkan hasil keputusan tersebut ,maka I Gusti ketut Ranuh bersama I Ketut Sukrata menyusun sebuah buku yang berjudul Ejaan Bahasa Bali dengan Hurup Latin dan Hurup Bali.
Tanggal 28-30 Desember 1963 diadakan pesamuan agung kecil bahasa Bali. Adapun tujuannya meninjau kembali hasil keputusan Pesamuan Agung tahun 1957, karena di dalam keputusan tersebut masih ditemukan masalah-masalah yang menimbulkan kesulitan dalam penerapannya, terutama dalam hal penerapan ejaan bahasa Bali dengan hurup Bali. Berdasarkan hasil keputusan pesamuan agung kecil 1963, disusun buku:
1.  Pedoman Guru Pasang Sastra Bali Latin (Md Riken),
2.  Wiakarana Basa Aksara Bali (I Wyn Simpen AB),
3.  Pedoman Perubahan Ejaan  Bahasa Bali Dengan Hurup Latin dan Hurup Bali (I Nengah Tinggen, 1971).
       Dalam Raker Kurikulum Bahasa Bali, yang diadakan oleh dinas Pengajaran Propinsi Bali tanggal 9 s.d. 12 Desember 1970 di Bedugul. Menegaskan bahwa ejaan Bahasa Bali yang harus diajarkan adalah ejaan bahasa Bali dengan huruf Bali dan huruf Latin sesuai dengan pesamuan agung tahun 1957 dan tahun 1963.
   Penggunaan ejaan bahasa Bali Latin kembali mengalami perubahan mengikuti ejaan bahasa Indonesia. Berdasarkan keputuskan bapak Presiden Republik Indonesia tentang berlakunya ejaan bahasa Indonesia Yang Disempurnakan mengganti ejaan Suwandi tanggal 17 Agustus 1972. Pada tanggal 12 s.d. 13 Januari 1973 diadakan Loka Karya Bahasa Bali, tujuannya yaitu mengadakan  Penyesuaian Ejaan Bahasa Bali Latin ke dalam Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.
    Dalam usaha pendekatan bahasa-bahasa daerah terutama bahasa daerah Jawa, Sunda dan Bali, sehubungan dengan penyesuaian ejaan  bahasa daerah tersebut ke dalam Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, maka pada tanggal 22-23 Maret 1973 diadakan loka karya ejaan bahasa daerah tersebut. Sebagai wakil dari Bali yaitu Drs. Wayan Warna, Drs. Wayan Jendra, dan I Nengah Tinggen. Hasilnya dikeluarkan keputusan dengan No. 070/U/1974, telah mengumumkan secara resmi Ejaan Bahasa Daerah Bali, Sunda, dan Sumbawa yang di sempurnakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sehingga berlakulah secara resmi Ejaan bahasa Bali dengan huruf latin sampai sekarang ini.
  Demikianlah perjalanan ejaan latin bahasa Bali Yang Disempurnakan dan berlaku sampai sekarang ini.

SIMPULAN 
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1.  Aksara Bali bermula dan berkembang setelah hurup Pallawa. Dalam perkembangan selanjutnya perlu pula diketahui tentang berlakunya ejaan dengan huruf Bali yang terkenal dengan ejaan Scwarts. Namun dengan berkuasanya Jepang di Indonesia (termasuk Bali) maka ejaan Scwarts tidak berlaku lagi. Setelah diadakan pesamuan Agung bahasa Bali pada tanggal 23-26 Oktober 1957 dan dilanjutkan Pesamuan Agung Kecil pada tanggal 28-30 Desember 1963, maka dikenallah ejaan aksara Bali yang sekarang yang disebut ejaan Purwadresta.
2.  Dikeluarkannya keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan No. 070/U/1974, telah mengumumkan secara resmi Ejaan Bahasa Bali yang Disempurnakan setelah mengalami proses yang begitu panjang dalam perjuangannya.
        Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan berkembang pada masyarakat suku Bali di zaman modern ini, yang sangat memerlukan perhatian dan pemeliharaan agar tidak punah seperti bahasa-bahasa daerah lainnya. Sehingga perlu dilestarikan, karena bhasa Bali adalah bahasa ibu masyarakat suku Bali. Mari kita sebagai masyarakat Bali menjaga dan melestarikan bahasa Bali dengan menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari dalam pergaulan.

DAFTAR PUSTAKA
Bawa, I Wayan,dkk. 1985. “Studi Sejarah Bahasa Bal” Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Geriya, I Wyn, dkk. 1993. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Daerah Bali Yang Disempurnakan. Denpasar: Biro Bina Mental Spiritual setwilda Tingkat I Bali.
Hadi, Sutrisno. 1973. Metodelogi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Jendra, I Wayan. 1981. Suatu Pengantar Ringkas Dasar-Dasar Penyusunan Rancangan Penelitian. Denpasar : Fakultas Sastra Unud.
Suasta, Ida Bagus Made. 1997. “Berpidato dengan Bahasa Bali”. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik, Kedudukannya, Aneka Jenisnya, dan Faktor Penentu Wujudnya. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Sulaga, I Nyoman dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar : Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Tinggen, I Nengah. 1994. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: CV. Rhika Dewata.
Tinggen,I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali Dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: CV. Rhika Dewata.

1 comment:

Wusan simpang, elingang komentarnyane ngih..! Ring colom FB ring sor taler dados. ^_^ sharing geguratane ring ajeng dados taler.