Berikut adalah ringkasan kisah Resi Jaratkaru yang diambil dari bagian Adiparwa dalam wiracarita Mahabharata, yang sangat relevan dan dikenal dalam tradisi Hindu di Indonesia (khususnya Bali), beserta pesan moralnya.
Kisah Resi Jaratkaru
Kisah ini berfokus pada Jaratkaru, seorang resi (pertapa) yang sangat saleh dari klan Yayawara. Nama "Jaratkaru" sendiri berarti "orang yang menghabiskan (tenaga) yang luar biasa" karena pertapaan yang sangat keras. Sejak muda, Jaratkaru telah bersumpah untuk hidup selibat (tidak menikah atau sukla-brahmacari) demi mencapai moksa (pembebasan).
Ancaman bagi Leluhur
Suatu hari, saat Jaratkaru sedang bertapa di tengah hutan, ia melihat sebuah pemandangan yang menyedihkan: arwah leluhurnya tergantung terbalik pada seutas tali yang terbuat dari serat bambu yang hampir putus. Di bawahnya terhampar jurang menuju neraka. Tali itu terus digerogoti oleh seekor tikus kecil.
Leluhurnya yang menderita menjelaskan bahwa penderitaan ini adalah akibat dari terputusnya garis keturunan. Tikus itu melambangkan waktu yang terus berjalan, dan tali yang putus melambangkan garis keturunan yang akan segera habis. Mereka hanya bisa diselamatkan jika Jaratkaru, sebagai satu-satunya keturunan yang tersisa, mau menikah dan memiliki seorang putra.
Awalnya Jaratkaru menolak karena terikat sumpah selibatnya. Namun, karena rasa bakti yang mendalam kepada leluhur, ia akhirnya setuju untuk menikah, tetapi dengan tiga syarat ketat:
Ia hanya akan menikahi wanita yang bernama sama dengannya: Jaratkaru.
Wanita itu harus diberikan kepadanya sebagai sedekah.
Ia akan meninggalkan wanita itu jika sang istri tidak mematuhinya atau membuatnya marah.
Pernikahan dan Kelahiran Astika
Kabar mengenai pencarian istri ini terdengar oleh Basuki, Raja para Naga (ular), yang tengah khawatir karena bangsanya diramalkan akan dibinasakan dalam upacara Korban Ular (Sarpahoma) yang akan diselenggarakan oleh Raja Janamejaya. Ramalan mengatakan bahwa hanya seorang putra dari seorang resi dan seorang dewi naga yang dapat menghentikan upacara tersebut.
Basuki menemukan bahwa adik perempuannya bernama Jaratkaru (sering disebut juga Manasa, dewi ular) dan memenuhi syarat sang resi. Basuki pun mempersembahkan adiknya kepada Resi Jaratkaru.
Setelah beberapa lama hidup bersama, Sang Resi Jaratkaru tertidur pulas di pangkuan istrinya. Menjelang malam, sang istri melihat bahwa waktu salat sandyakala (salat petang) hampir habis. Khawatir suaminya akan kehilangan pahala tapanya, sang istri naga membangunkan suaminya.
Jaratkaru terbangun dan murka. Menganggap tindakannya membangunkan tidur adalah bentuk ketidakpatuhan dan penghinaan terhadap seorang resi, ia langsung menyatakan sumpahnya.
"Aku telah melanggar janji! Aku harus meninggalkanmu!"
Meskipun Sang Nagini menjelaskan bahwa ia hanya ingin menyelamatkan pahala suaminya, Resi Jaratkaru tetap teguh pada sumpahnya. Namun, sebelum pergi, ia menyentuh perut istrinya dan meramalkan bahwa sang istri akan melahirkan seorang putra yang hebat.
Sang Nagini kemudian melahirkan Astika. Astika inilah yang kelak tumbuh menjadi resi yang bijaksana dan berhasil menghentikan upacara Sarpahoma Raja Janamejaya, menyelamatkan para naga. Dengan lahirnya Astika, arwah leluhur Resi Jaratkaru pun terbebas dari penderitaan.
Pesan Moral Kisah Jaratkaru
Kisah Jaratkaru mengandung beberapa pesan penting dalam ajaran Hindu, terutama yang relevan dengan tradisi di Indonesia:
Prioritas Dharma dan Pitra Rna (Utang kepada Leluhur):
Pesan paling utama adalah tentang pentingnya melunasi utang kepada leluhur (Pitra Rna). Meskipun Resi Jaratkaru telah memilih jalan spiritual tertinggi (moksa) melalui hidup selibat, ia harus mengorbankan jalannya itu demi menyelamatkan leluhurnya. Ini mengajarkan bahwa kewajiban terhadap keluarga dan leluhur (Gṛhasta Āśrama) harus didahulukan sebelum mencapai pembebasan pribadi, terutama jika itu menyangkut kelangsungan garis keturunan (Santana).
Pentingnya Keturunan (Putra/Suputra):
Cerita ini menjadi mitos penguat dalam Hindu Bali tentang pentingnya memiliki anak. Dalam bahasa Sansekerta, Putra berarti "penyelamat jurang/neraka" (put = neraka, tra = menyelamatkan). Dengan memiliki anak yang berbakti (Suputra), leluhur dapat dibebaskan dari penderitaan di alam Pitra (leluhur) dan proses reinkarnasi dapat berlanjut.
Keseimbangan antara Tapa dan Dharma:
Kisah ini menyeimbangkan antara kehidupan pertapaan (Tapa) dan kehidupan berumah tangga (Gṛhasta). Meskipun pertapaan sangat mulia, ia tidak boleh sampai mengabaikan kewajiban dharma yang lebih mendasar, yaitu kelangsungan keluarga. Kesempurnaan spiritual sejati tercapai ketika semua kewajiban telah terpenuhi.
No comments:
Post a Comment
Wusan simpang, elingang komentarnyane ngih..! Ring colom FB ring sor taler dados. ^_^ sharing geguratane ring ajeng dados taler.