Teks Berjalan

Om Swastyastu, Sameton Sutha Abimanyu, Nyama Blijul ajak makejang.. Rahajeng rauh ring blog puniki, elingang follow ig @blijul_pande twitter @jul_pande Youtube: Blijul TV _ Om santih, santih, santih.

Sunday, June 4, 2023

Babad Brahmana Keling Atau Purana Pura Gunungsari

Topeng Sida Karya

Babad Brahmana Keling terdiri atas 11 lembar lontar. Babad itu bercerita tentang kisah perjalanan Brahmana Keling ketika beliau meninggalkan gunung Bromo pergi ke Bali untuk bertemu dengan kerabatnya yaitu Dalem Watur Enggong yang menjadi raja Gelgel. Sesampainya beliau di Gelgel beliau tidak bisa menemukan raja karena raja Gelgel sedang berada di Besakih. Keberadaan raja Gelgel di Besakih dalam rangka melaksanakan yadnya Nangluk Merana. Karena Brahmana Keling tidak bisa bertemu dengan raja Gelgel maka beliaupun pergi menuju Besakih.

Ketika sampai di Besakih Brahmana Keling memberitahu rakyat Besakih bahwa kedatangan beliau hanya ingin bertemu dengan raja Gelgel karena beliau masih terhitung kerabatnya. Rakyat yang ditanyai beliau segera melaporkan kepada patih Agung bahwa ada seorang gila yang mencari sang raja. Patih Agung segera menemuinya dan melihatnya. Dalam pikiran patih Agung tidak mungkin raja memiliki keluarga gila. Beliau segera melaporkan kepada raja. Ia melaporkan kepada raja bahwa ada orang gila yang mengaku keluarga raja, kumal dan berpakaian compang-camping ingin menghadap raja. Ketika raja menerima laporan patih Agung maka beliau teringat bisama bahwa; Yadnya Agung tidak boleh didatangi orang gila karena yadnya itu akan cacat yang memungkin mendatangkan kutuk dan bencana di kelak kemudian hari. Karena itu maka raja memerintahkan untuk mengusirnya. Itulah sebabnya Patih Agung mengusir sang Brahmana Keling. Bahkan rakyat Besakih yang ikut melihat Brahmana Keling ikut mengejek bahkan menghina dan mengusir Brahmana Keling. Melihat kenyataan itu maka Brahmana Keling pergi dari Besakih ke arah timur laut untuk menghindari celaan dan hinaan rakyyat Besakih. Kebetulan beliau bertemu dengan Anglurah Sidemen lalu beliau diberi tempat tinggal di pucak gunung Dewangga yang bernama Pucaksari. Di sanalah beliau membuat pondok. Brahmana Keling lalu memohon kepada Dewi Gangga agar dianugrahi air di tempat beliau memondok. Beliau lalu menancapkan tongkatnya di sela-sela bebatuan. Seketika itu pula ke luar air dari celah-celah batu di pucak bukit Dewangga yang tidak pernah kering walau pada musim kemarau. Air itu dinamakan Tirta Siddha Wari. Dalam Bahasa Jawa Kuna kata siddha wari dapat diartikan: siddha berarti; ‘berhasil, mampu’. Wari berarti; 1) ‘air’ dan 2) ‘sifat khas’ (Zoutmulder, 2008, 1393). Jadi kata siddha wari berarti ‘air suci yang khas’

Setelah beliau berada di bukit Dewangga dan teringat akan sikap raja yang tidak mau menemuinya, bahkan rakyat mengusir dan menghinanya maka beliau merasa kesal. Beliau lalu mengutuk Yadnya Agung itu agar tidak berhasil dan semua sarana yang digunakan menjadi busuk. Kutukan Brahmana Kelingpun terjadi. Semua sarana sesajen yang akan digunakan melengkapi yadnya tersebut menjadi busuk sehingga membuat bingung sang raja.

Kebetulan pandita yang akan memimpin Yadnya Agung itu adalah Danghyang Nirartha. Mendengar laporan bahwa ada kejadian yang mengebohkan itu maka beliau bermeditasi. Dalam meditasi beliau terlihat bahwa Yadnya Agung itu akan berhasil bila dipimpin oleh 2 pendeta yaitu pendeta Siwa dan pendeta Buda. Pendeta buda yang dimaksud adalah Brahmana Keling yang dulu diusir dari Besakih. Danghyang Nirartha lalu melaorkan hasil meditasinya kepada raja.

Raja lalu memerintahkan kepada patih dan rakyatnya untuk mencari keberaadaan Brahmana Keling dan mengundangnya agar mau datang ke pura Besakih untuk memimpin jalannya upacara Yadnya Agung itu.

Dikisahkan Anglurah Sidemen. Ketika beliau mendengar perintah raja Gelgel, beliau mengajak Brahmana Keling untuk datang ke Besakih menghadap raja. Brahmana keling menyanggupinya walaupun beliau pernah dihina dan dilecehkan oleh rakyat Gelgel. Seketika itu pula bau busuk dari sarana upacara yang akan digunakan untuk melengkapi yadnya menjadi normal alias tidak busuk lagi. Yadnya Agung yang dilaksanakan raja Gelgel berhasil dengan sempurna. Keberhasilan yadnya itu dikatakan dengan Bahasa Bali dengan istilah sida dan maan yang artinya ‘mampu didapatkan/diraih dengan sukses’. Kesuksesan itu didapatkan berkat seorang pendeta yang siddhi yaitu Brahmana Keling. Setelah Yadnya selesai dilaksanakan maka Brahmana Keling mohon diri kepada raja. Beliau lalu pulang ke pondoknya di bukit Dewangga di wilayah Sidemen. Di sana beliau mengatakan bahwa, yadnya-yadnya besar yang akan dilakukan oleh umat Hindu harus dipuput atau dipimpin oleh 2 orang pendeta yaitu pendeta Siwa dan pendeta Buda. Di samping itu, untuk menghindari yadnya dari gangguan hama dan sejenisnya maka haruslah menggunakan Tirta Siddha Karya yang ke luar dari celah bebatuan di pucak bukit Dewangga. Tanpa Tirta Siddha Karya maka yadnya yang dibuat tidak akan berhasil dengan sempurna. Setelah Yadnya Agung raja Dalem Watur Enggong selesai dilaksanakan dengan sangat sempurna maka Brahmana Keling mohon diri untuk kembali ke gunung Bromo di Jawa.

Untuk mengenang jasa-jasa Brahmana Keling maka daerah tempat tinggal Brahmana Keling disebut dengan Siddhamahan. Lama-kelamaan kata Siddhamahan yang identic dengan kata Sidemen. Di tempat Brahmana Keling memondok didirikanlah pura Gunungsari dan pura Pucaksari. Pura tersebut dibuat untuk mengenang dan memuliakan Brahmana Keling sebagai Boda Paksa. Dibuatkanlah beliau sebuah pelinggih Gedong Tarib sebagai stana Ratu Gaduh. Gedong Tarib Ratu Gaduh melambangkan Brahmana Keling ketika marah waktu diusir dari Gelgel dan Besakih. Kedatangan beliau membuat gaduh rakyat Gelgel.

Lontar Babad Brahmana Keling juga berisikan petunjuk tentang upacara Yadnya Agung yang akan sempurna dilaksanakan bila menggunakan Tirta Siddha Karya dari bukit Dewangga, banjar Sidakarya, desa pakraman Tabola, desa Sidemen, kecataman Sidemen, Kabupaten Karangasem. Di sisi lain lontar tersebut berisikan ulasan mengenai berdirinya pura yang memiliki kaitan dengan desa Sidemen seperti pura Gunungsari. Juga memuat nama desa Sidemen yang berasal dari kata sideman/siddhamahan. Kata siddhamahan lama-kelamaan menjadi kata Sidemen.

(Sumber : Babad Brahmana Keling Sidemen).
post facebook I Nyoman Sukartha
sumber: facebook I Nyoman Sukartha

No comments:

Post a Comment

Wusan simpang, elingang komentarnyane ngih..! Ring colom FB ring sor taler dados. ^_^ sharing geguratane ring ajeng dados taler.